Pada zaman dahulu, jelang maghrib, ketika itu masa kecil anak-anak sangat layak dinikmati. Segerombolan anak yang belum terkontaminasi smartphone dan kerasnya apatisme, berbagi tempat duduk di rumah salah satu dari mereka yang punya TV. Mata-mata polos itu dipukau dengan tayangan-tayangan "Robot vs Monster" macam Power Ranger atau Ultraman. Polanya selalu mirip. Ada monster yang mengacau ketenteraman kota kemudian jagoan datang. Oh, lupakan saja antek-antek figuran yang biasanya tidak berguna selain jadi sasaran pukul atau melakukan serangkaian 'tarian' janggal di kejauhan itu. Setelah sang pahlawan atau sekelompok ranger itu berhasil menebas makhluk petaka itu, dari langit kilat menyambar jasadnya kemudian mengubahnya menjadi raksasa. Nah, di sini anak-anak yang sudah duduk manis dan wangi shampoo itu disuguhi aksi dua raksasa saling menghancurkan di tengah (miniatur) kota. Yang baik selalu menang menumpas yang jahat. Lalu robot yang puas itu berpose sementara di latarnya senja keemasan turun dan sang monster meledak jadi serpihan. Lalu, semua anak itu bubar ke rumah masing-masing sambil berjanji besok datang untuk numpang menonton lagi. Aih.. bahagianya! Tapi rasanya kebahagiaan itu pelan-pelan menguap. Anak-anak generasi itu beranjak dewasa dan memikul tanggung jawab dan berelasi dengan orang-orang yang nyata di dunia yang nyata, sedangkan anak-anak zaman ini pelan-pelan kehilangan tontonan imajinatif dan terhimpit kemanjaan yang individualis. Pacific Rim (2013) bikinan Sutradara Guillermo del Toro ini benar-benar obat film-film genre tersebut di atas bagi semua generasi! Mereka yang kangen tontonan masa kecilnya diajak bernostalgia (dan kemudian sadar usia. Haha!), mereka yang lebih muda dihadirkan kemegahan serangkaian aksi laga pertarungan box office kekinian.
Berbeda dengan kebanyakan film blockbuster lainnya yang entah mengapa belakangan ini cenderung kelam dan berat demi menampilkan alur yang realistis untuk menggaet audiens yang lebih luas, Pacific Rim merupakan sajian kisah yang ringan, dengan aksi fantasi dan visual warna-warni yang hangat. Idenya sederhana: pertarungan Jaeger, robot gigantis yang diciptakan untuk melawan serangan Kaiju, makhluk monster alien yang muncul dari dasar laut. Film science fiction ini merupakan homage terhadap film seperti Godzilla dan mecha. Hanya saja, alih-alih seperti film mecha umumnya, Jaeger ini terlalu rumit untuk dikendalikan seorang diri sehingga membutuhkan dua pilot yang saling berbagi pikiran. Dari plot itu, berkembanglah beragam kisah manusiawi yang mewarnai Pacific Rim.
Serangan Kaiju yang terus bermunculan dengan evolusi mereka yang semakin canggih akhirnya membuat pemerintah dunia menutup proyek Jaeger demi konsentrasi membangun tembok perlindungan (yang katanya ampuh di World War Z. Hehehe). Raleigh (Charlie Hunnam) adalah pilot Gipsy Danger yang menarik diri sejak kematian saudaranya Yancy (Diego Klattenhoff) direkrut kembali oleh Stacker Pentacost (Idris Elba). Misi Stacker adalah mengumpulkan pilot-pilot Jaeger yang tersisa untuk meledakkan rekahan di samudera Pacific, sarang para kaiju. Raleigh akhirnya mengendalikan kembali Gipsy Danger dengan Mako Mori (Rinto Kikuchi), putri adopsi Stacker. Keuntungan mengangkat teknologi berbagi pikiran dan dua pilot dalam 1 jaeger menghadirkan banyak relasi yang diangkat jadi subplot cerita. Relasi antar saudara Becket Brothers, antar ayah-anak yang over-protektif Stacker-Mako atau malah lose control Herc-Chuck, antar murid-mentor Chuck-Stacker, atau antar gender Raleigh-Mako. Oh ya, jangan lupa juga sisipan lelucon relasi geek stereotype Newton-Gottlieb. :)
Bekerja sama membutuhkan pengelolaan yang baik dari sisi relasi dan komunikasi. Kebersamaan bertahun-tahun pun tidak menjamin pengenalan yang menyeluruh bagi mereka yang kita anggap sahabat akrab atau sanak dekat. Komunikasi verbal atau tertulis mungkin saja salah dimengerti apalagi kalau tercampur dengan background watak dan temperamen yang berbeda. Bayangkan, sepuluh menit yang lalu, kamu bergulat dengan orang tertentu kemudian lima menit berikutnya ditugaskan harus berekanan dengan makhluk tersebut. Ketidaksukaan personal atau relasi yang gagal terhadap orang tertentu bisa jadi drama berkelanjutan dalam konteks tugas kelompok mahasiswa atau partner kerja. Gawatnya, hal demikian justru sering terjadi di lingkup yang paling kecil: sahabat terkarib, keluarga, saudara atau malah pasangan.
Mengutip Ecclesiastes, "Dua orang bekerja sama akan dapat menyelesaikan lebih banyak daripada satu orang saja bekerja dua kali, karena berdua dapat mencapai hasil yang lebih baik. Jika yang seorang jatuh, yang lain dapat membangunkannya. Tetapi sungguh malang bagi orang yang jatuh tanpa ada orang lain untuk membangunkannya.". Kita akan sangat tertekan jika memilih menanggung segala sesuatu sendirian, seperti Jaeger yang terlalu membebani jika hanya dikendalikan 1 pilot. Pilihannya adalah dengan menjalin komunikasi dan pengenalan relasi yang bertumbuh alami dengan segala jatuh-bangkitnya, atau menunggu sampai para ilmuwan yang terinspirasi mengembangkan lebih lanjut teknologi neural bridge itu. Hanya saja berhati-hatilah, Newt dapat pengalaman yang tak enak setelah menyambungkan otaknya dengan otak kaiju, loh. :)
1 comments
Jadi inget dulu numpang nonton di rumah temen waktu di tomohon.. hehe...
ReplyDeleteWah.. temen gw ngomongin nih pilem sejak dia dateng ke kapal.. sayang ga bisa nonton d sini.. Nanti dah kalo dah turun gw cari nih pilem...
Sukses tru yak Her...