Di dunia yang berisik penuh orang-orang bising. Setiap ucapan berbumbu jargon yang terdengar pintar. Mengulang yang itu-itu lagi kemudian menginginkan penutup bersimpul. Kelakar basi demi tawa menghargai.
Fasih lidah namun penuh rasa tak percaya. Awas, jangan lupa waspada. Manis bibir, namun tangan menikam.
Dunia palsu penuh tipu-tipu betapa melelahkan.
Ada lagi hingar bingar kosong yang saling berkedok. Topeng sapa dengan salam paling asyik namun tak pernah sepenuh hati. Sementara kebodohan tak disembunyikan, luka diumbar, berasa paling korban. Pujian dan sanjungan entah buat apa. Yang sendiri datang tak diacuh, yang mau lekas tak dibiarkan lepas. Apa maunya?
Sayang selum tentu mengerti. Menebalkan telinga, seolah paling tahu. Memberi saran tapi tak pernah benar-benar peduli. Apakah persamaan hati dan pencapaian? Apakah obat dari kekosongan hanya sekadar gesekan-gesekan organ.
Mengapa orang penuh dengan dirinya sendiri? Apakah karena damba diterima dan melihat kasih sebagai keegoisan diri sendiri? Mungkin memang ada yang penuh dengan drama dan hidupnya yang membosankan perlu intrik agar lebih menarik.
Semua orang hanya memandang diri sendiri lalu bertindak sesuka hati. Mungkinkah perlu berhenti dan kemudian mengasihi diri sendiri lagi?
Atau perlukah menenggelamkan diri pada drama seolah hidup kurang warna?
Yang terkungkung pada tuntutan. Rambut, baju, sepatu, ini dan itu dan yang lainnya. Pernahkah bertanya apakah aku bahagia? Siapa hidup yang dihidupi selain diri yang ini?
Di dunia yang bising, penuh gegap gempita maya, aku rindu kesenyapan didengarkan. Bukan api, bukan gempa bumi, bukan angin yang memecah bukit. Namun kesenyapan angin sepoi-sepoi basa. Ingin aku ditanyakan dan dipelihara seperti Elia, "Apakah kerjamu di sini?"