Aku di tengah permainan catur menghadapi lawan mahir bernama takdir. Permainannya menantang dan bahkan kerap membuat aku membeku atau setidaknya merasakan sensasi panik ketika kau mengira handphonemu ketinggalan di mana, lalu buru-buru merogoh semua saku. Dia lawan yang tangguh. Menghajar namun memberi ilmu. Kadang dalam bentuk yang jelas tapi belakangan ini aku dapati kabur atau cuma bekas-bekas. Bijak sekaligus geragasan. Tenang namun tak berbelas kasihan. Sekali salah langkah, tidak lagi bisa diubah. Yang kuambil tak boleh kutaruh kembali, yang rusak sudah sulit kuperbaiki.
Aku memulai permainan ini semenjak kututup kotak hadiah bernama kuliah dan membuka pandora berlabel tanggung jawab orang dewasa. Hitam dan putih, catur ini bukan sembarang catur biasa. Gerakanmu mundur atau maju, menceritakan langkah berikutmu. Berbekal passion, cita-cita masa depan, dan kenaifan remaja aku memulai permainan dan segera saja terhanyut di dalamnya. Waktu berlalu laju-laju dan tanpa sadar aku sudah melangkah sedemikian jauh.
Permainan ini mulanya mengasyikkan, bahkan kadang-kadang lucu. Inilah yang memampukanku melewati berbagai rutinitas jemu. Nggak usah banyak mikir atau ribet terlalu. Cepat-cepat saja maju, biar puas biar seru! Bertemankan banyak sahabat, kekuatan begadang, dan sikap persetan, aku berpuas melihat petak yang meluas dan sejumput kemenangan. Kukumpulkan rasa aman bersama teman-teman terdekat, mengumpat dan menertawakan kebijakan pemimpin bangsat, atau senyum-senyum sendiri memandang transferan bulanan walaupun cuma numpang lewat. Tapi ternyata setahun-dua tahun ini kusadari, permainan ini taruhannya bukan buatan. Yang dulunya kulalui dengan lebih bebas seolah yang kumiliki tak terbatas begitu kubuka mata, kulihat sekelilingku bidak-bidakku rubuh, patah, kalah. Kami ternyata sudah bermain begitu lama. Pencapaian dan kekalahan datang silih bersua. Sahabat pergi berpisah jalan berganti rekanan, semangat memburu berganti linu, kenaifan dan optimisme eksistensi bergontokan demi tagihan yang perlu dilunasi.
Seharusnya, aku mesti berlari tergopoh-gopoh, tapi di sinilah aku berhenti dan berdiam di sudut sotoh. Di akhir minggu ini aku bersembunyi memikirkan ulang langkahku bertemankan segelas kopi murahan dan colokan listrik gratisan. Aku menganalisa langkah ke depan dengan berkaca pada apa yang kulewatkan. Sahabat-sahabatku mungkin bukan pergi melainkan tanpa sadar kusingkirkan sendiri. Berbagai kesempatan kuabaikan karena aku menjawab ya ketika seharusnya tidak. Dengan demikian mengutamakan yang sia-sia daripada yang mendesak. Aku menaruh cinta dan rasa kepada yang tak seharusnya kemudian merintih dan murka ketika yang kutanam tak pernah berbuahkan damba. Aku bergantung pada sisa-sisa kebahagiaan masa lalu yang aku punya dan proyeksi masa depan yang ternyata rontok lebih awal dari yang seharusnya.
Belakangan ini, siang malam kuhabiskan memikirkan strategi besok mau ngapain lagi. Kurasakan permainan ini sungguh menguras emosi dan energi ketika yang bisa kupercaya mungkin hanya dalam hitungan jari. Semakin ke sini semakin perlu aku berhati-hati bahwa ternyata ketika pikiran dikelola jadi perilaku, rancangan berpengaruh sampai ke seluruh penjuru. Memang aku sadar kini setiap langkah resikonya makin bertambah luas dan waktu berpikir yang tersisa juga makin lekas. Alih-alih berpandang pada asingnya harapan di depan, aku memilih berkubang pada kefamiliaran penyesalan. Ibarat mengelupas luka yang masih berdarah akibatnya jadi tak kunjung pulih malah jadi semakin nyeri. Semakin kukenang dan kusesali, hari-hari lewat dalam siksaan pikiran sendiri. Aku akui aku gentar karena telah banyak salah langkah di masa lalu, takut akan kesendirian di masa sekarang, dan khawatir akan ketidakpastian di masa depan. Langkah besar yang harus segera kusambut ternyata kini sudah datang menjemput. Masih ada waktu, mau kurengkuh atau kubiarkan lewat seperti masa-masa kebodohanku?
"Giliranmu", tantang lawanku lembut nan keji. Kuhela napas di loteng kafe berangin ini sekali lagi. Dia berkata lagi menenangkan degap-degup hati yang takut ini. "Nggak usah banyak mikir atau ribet terlalu. Pelan-pelan saja maju tak perlu terburu-buru. Permainan kita belum genap. Kekalahan dan kemenangan masa lalu jangan membuatmu menetap. Jangan terlalu tergesa-gesa, namun jangan pula diulur-ulur. Relasi dan rejeki masa depan semua ada yang atur. Yang mampu kau kerjakan lebih dahulu, kerjakan satu-satu, kerjakan sungguh-sungguh."
Aku tersenyum sedih namun haru menatap lawan yang ternyata sekaligus guruku. Kemudian kuambil satu pion paling kecil dan terdekat yang sanggup kuraih. Aku tak tahu pasti tapi inilah jalan yang aku pilih.
0 comments