Jauh dan sibuk itu ilusi. Yang nyata hanyalah pergeseran urutan-urutan kepentingan dan skala prioritas. Karena hidup menghadiahkan kado yang setara bagi kau dan aku: satu hari dan satu bumi.
Jika kamu tergolong di dalam prioritasku, maka jauhnya jarak, jahanamnya macet, atau sadisnya cuaca tak jadi masalah. Seribu cara akan kutempuh namun bahkan jika keseribu-seribunya tak berhasil, akan kucoba cara keseribu satu, seribu dua, seribu tiga, dan seribu seterusnya. Tak takut aku pada tersesat, tak gentar aku akan salah alamat, yang kuinginkan supaya aku hadir bagimu tak terlambat.
Kalau engkau termasuk di kategori yang terpenting bagiku, maka aku janji tak akan pernah kau dengar 'aku terlalu sibuk' bagimu. Kubungkus dua puluh empat jam hari itu dan kuhadiahkan kepadamu jika perlu. Seperti aku tak melalaikan bernafas, demikianlah tarikan dan hembusan di dadaku bertalu-talu penuh penantian akan waktu berjumpa denganmu.
Kau bilang ditinggal pas lagi sayang-sayangnya itu sakit. Mungkin sama sakitnya ketika baru aku menyadari ternyata sayang itu muncul selepas kau tinggal. Kejamnya perpisahan tak pernah menunggu waktu ketika aku siap, lagipula datangnya selalu mendadak. Kalau aku bisa mengulang waktu, berkali-kali aku ingin menyayangimu lagi tak peduli sebegitu jauh seberapa sibuk.
Namun, Jakarta ini memang terlalu jahat. Dia menguras energi, mencaplok materi, dan melahap remah-remah waktu. Tanggung jawab meringseki puncak-puncak skala kepentingan dan beban menjadi dewasa mencaplok prioritas masing-masing kita. Jauh dan sibuk menampakkan wujudnya dalam kenyataan yang terpaksa kuterima. Sebagai gantinya, biarlah kenangan kita hidup dalam hati karena hanya di sana ruang abadi. Tak pernah tersentuh oleh jauh, tak mempan dirasuk sibuk.
0 comments