Kerapkali yang saya temukan adalah mereka yang berkali-kali menunduk bertahan dalam rakit kesederhanaan hanya untuk menanti datang gelombang untuk berkendara di atas lautan keangkuhan. Mereka yang menabur abu rendah diri dan bersolek bedak kesederhanaan tak lain cuma menunggu tiba kesempatan buat pamer kelebihan. Aku berjengit jijik bercampur sedih. Dalam benar luka mereka yang tak tertahan dalam nanah keputusasaan takdir. Hidup ini, yang pikir mereka, cuma siklus yang terus berulang tak tertebak mau sampai kapan. Entah peduli jadi apa kelak mereka di kehidupan besok, yang utama bagaimana meraup nikmat dan melepas malu sementara. Belenggu masa lalu usahlah diletakkan dulu.
Liburan yang mestinya menawarkan mimpi dan tawa yang sentosa berubah jadi arena cela dan pembenaran diri belaka. Ingin rasa melintas kembali saat kamar-kamar panas ini tetap saja jadi panas daripada menggigilkan kebekuan yang memisahkan satu-satu. Mereka bilang kita ini setubuh. Kalau rusak tak ada ganti baru. Siapa yang bisa menebas tangan karena benci akan kelingking kemudian melanjutkan hidup seperti tak pernah ada peristiwa terjadi.
Mengingat lagi perdebatan-perdebatan pongah dan tak tentu arah, kuping ini masih ngilu. Sekali ini aku membatin berhasrat memparafrasekan kutipan terkenal yang setengah benar itu: "Orang tak pandang agamamu, sukumu, bangsamu atau bahasamu - mereka hanya pandang uangmu!". Oya, silakan koreksi saja jika saya keliru.
0 comments