Robot Kelabu itu terkekeh-kekeh. Rahangnya yang berkarat berkeriut
naik turun seiring buncahan-buncahan gelak terdengar dari tawanya yang
dalam namun tetap teratur. Ha.. Ha.. Ha... Ya, robot itu pun selalu
tertawa dengan anggun begitu. "Dasar monster-monster kikuk." Gumamnya
sambil memperhatikan tarian-tarian fantastis mereka. Dia jauh lebih tua
dari kaleng minyak Dorothy di Oz atau kala Atom baru saja ditemukan
Osamu Tezuka. Bagi Revo, demikian robot itu memperkenalkan dirinya,
segala sesuatu mesti terstruktur dan terorganisir barulah namanya
hidup. Metropolis Sempurna hancur jika tidak ada barang bernama hukum.
Tapi
saat ini mereka tidak berada di Metropolis lagi. Revo si Kelabu
terjebak dalam satu terowongan bawah tanah, Undercity. Metropolis
Sempurna, di atas sana, sedang dikuasai raksasa-raksasa tolol berotak
bawang. Setiap hari kerjanya melempar batu ke tiang-tiang dan saling
membakar apa yang tersisa dari kereta dan Rumah Putih. Kekacauan
dimana-mana. Walikota sudah lama mati. Kini yang tersisa hanya boneka
manekinnya yang disumpal hati baboon. Buronan dan tawanan perang
bergerilya di Undercity. Pelan-pelan jumlah mereka bertambah banyak
oleh pendatang dari kanal lain, atau sebagian pergi mencari
peruntungannya di liang-liang lain. Shelter, pusat gorong-gorong kota,
dirayapi dengan Robot reot, Monster mata satu atau Cyborg canggih yang
setiap hari bergabung mencari perlindungan. Para pendatang aman di
sana, karena para Gigantis takut kegelapan. Mereka juga tidak mau
repot-repot mencari kutil dan mengisap cacing dalam tanah. Biarlah
biawak-biawak itu berkembang biak dahulu, nanti urusan nanti. Demikian
pikir para Gigantis.
Malam ini, adalah Halo ke
sebelas. Shelter semakin penuh sesak dengan keramaian warga Undercity.
Robot-robot kecil duduk diam digendong oleh Ayah atau Ibunya yang sibuk
memilih mineral untuk santapan Kenduri. Mereka sudah hampir seharian
disana. Memilih, menawar, lalu pergi ke kios sebelah lalu memulai lagi
perdebatan alot dengan pedagang-pedagang. Bau besi tua bercampur
keringat dari 8 ketiak, sungguh Pasar itu bukan tempat untuk
berlama-lama berdiri.
Lalu tiba-tiba di tengah
kerumunan, kericuhan itu terjadi. Costa si Jangkung dan Marty si
Berbulu. Dua monster muda yang meledak-ledak. Dengan girang mereka
berteriak seperti monster gila. "Kita menang! Kita menang!" jerit Marty
melompati peti zamrud dan krisolit dengan lihai. Tidak satu pun
permata-permata itu jatuh berserak. "Gigantis sudah kalah. Musuh sudah
musnah Kita tidak perlu jadi babu!".Jogetnya senang. Telinganya naik
turun dan tanduk rusanya berkilat-kilat gagah. "Benarkah demikian?"
Sahut seorang monster tua di ujung jalan sana. "Iya! Aku lihat
kejadiannya. Hore! Rantai-rantai sudah lepas. Kawat duri itu sudah
diangkat dan sebentar lagi, cihuy, jalan menuju Metropolis akan terang
benderang!" Costa menimpali.
Bangsa Monster senang
sekali berdansa dan menari. Mereka ahli olah jasmani. Gerakannya kadang
liar seperti serigala tapi tak jarang gemulai dengan satu irama seperti
angsa. Dan jika satu monster menari, biasanya akan diikuti dengan
beratus-ratus pasang monster lainnya. Hal itu lazim dilakukan di
pesta-pesta minum atau pernikahan Undercity, tapi kali ini, di tengah
pasar? Alamak! Lalu segera saja ratusan monster itu berjingkrak,
melompat, menepuk, bergoyang, meliuk dan menari dalam satu irama. Satu
baris demi satu baris, monster yang baru datang bergabung. Mereka
meletakkan pikulan dan koper-koper di dasar Shelter dan tanpa basa-basi
menggabungkan diri dengan alunan 'hey' dan 'hoy' para monster. Setelah
bergabung dua lagu, baru sang pendatang berbincang. Ada apa gerangan
sampai kita menari begini? Revo menepuk jidatnya. "Kaum rendah tak
berintelek."
Namun segera saja umpatannya tak sempat
berlanjut. Tangan-tangan ramping menariknya ke tengah lingkaran. "Maaf!
Excuse me! Hahaha" Revo tertawa canggung tapi sopan, "Maaf, tapi anda
salah orang. Aku tak bisa menari!". Dia meronta melepaskan diri dari
cengkraman hangat tentakel-tentakel itu. "Tak perlu sungkan, Sobat! Ini
waktunya berdansa!" Ujar si tuan Tentakel. "Sungguh, aku tidak bisa,
maaf.. " Lalu Revo tidak ingat sisanya. Langit gelap, lampu-lampu
tiba-tiba meredup dan sepertinya ada kilasan-kilasan cahaya dan sonar
yang mendengung memekak telinga. Para cyborg bersayap dan berpistol
perak. Darah dan minyak berserakan lalu gelap seperti ada ingatan yang
hilang atau terhapus karena terlalu malu untuk dikenang. Kenangan
kebenaran yang sepotong itu lebih berbahaya daripada ketidakmengertian
total.
Sejak itu yang langit-langit Undercity tahu
hanyalah dua fakta: Para monster itu biadab tak berakal dan Kaum robot itu angkuh tak berhati.
Kemenangan terhadap gigantis, kawat-kawat yang terangkat dan terowongan
terang benderang seolah jadi topik kusam dibanding permusuhan rakyat
Robot dan Monster. Inilah riwayat Undercity, reruntuhan terowongan bawah tanah Metropolis, kota Sempurna.
0 comments