Kota itu sudah terinfeksi virus dan penduduknya berubah menjadi zombie. Tua, muda, besar, kecil, lelaki atau perempuan, seluruhnya ditularkan. Mengerikan! Mengenaskan! Kota yang dulunya begitu bergairah kini jadi kota mati.
Zombie bukan mayat yang mati tergeletak. Bangkai-bangkai ini masih bisa bergerak, mulutnya mampu bersuara, kakinya sanggup berjalan, tangannya meraih, hanya saja sudah tak punya hati. Mereka tidak lagi punya kendali atas diri sendiri, cuma gumpalan daging busuk tanpa arah, eh maaf, maksudku hanya terarah pada bau daging segar dan otak manusia yang masih hidup. Makan bangkai untuk hidup, hidup untuk makan bangkai. Sampai suatu hari kelak, jenazah-jenazah berjalan itu rusak, lapuk, berulat, busuk, menggembung, berair, bernanah, pecah lalu terurai. Kemudian sunyi.
Untunglah, hanya kota itu saja yang terinfeksi virus mengerikan ini. Letaknya nun jauh di pedalaman seberang lautan yang terpencil dan terisolasi. Di sini aku hidup nyaman dan sejahtera. Musik memenuhi telinga dari berbagai riuh pusat perbelanjaan dan makanan berbagai rasa menerbitkan air liur menggugah selera. Di kota, semua orang tampaknya hidup mapan, berkelimpahan dan bergelimang kesuksesan.
Sampai suatu hari aku mendengar, ada seorang direktur muda mati loncat dari gedung tinggi, seorang mahasiswi tergeletak tak bernyawa menenggelamkan diri dalam bak mandi, dan seorang anak gantung diri di dalam taman kanak-kanak.
Orang-orang nahas ini sudah tak merasa hidup membawa harapan lagi. Si direktur menemukan bahwa tunangannya hilang ditikung orang, si mahasiswi terjerat utang dan entah bagaimana anak sembilan tahun tak kuat menghadapi peliknya penolakan cinta.
Mengerikan! Mengenaskan! Rasa iba pelan-pelan timbul bagi makhluk-makhluk malang ini. Bagi mereka, ini akhir segalanya. Hidup setiap hari cuma hampa dan kosong. Tak ada lagi gairah dan harapan. Tujuan hidup mereka batasi hanya sesempit ini. Dalam ukuran tertentu, bagi orang seperti ini, hari lepas hari sudah tidak berarti. Makan sekedar menyambung hidup sehari demi sehari. Hidup sehari demi sehari menghalalkan segala cara agar bisa dapat makan. Mereka hidup, namun sebenarnya hati dan gairah mereka sudah lama mati. Tak ubahnya dengan zombie. Aku bergidik.
Kemudian aku memalingkan kepala dan menatap sekelilingku. Ada segerombolan pemuda yang hidupnya dikendalikan nafsu. Otak pindah ke selangkangan. Ada pria paruh baya yang tak tahan jika tak mencandu. Badan habis untuk nikmat barang sejenak. Ada perawan tua tak mampu mengendalikan mulut. Setiap hari menceracau mengumbar pertengkaran. Ini baru sebagian kecil saja. Aku menemukan masih banyak orang-orang semacam ini. Di ujung jalan, di pelataran rumah ibadah, di bangku-bangku taman, di bangsal rumah sakit, di gedung parlemen, bahkan di kamarku sendiri. Orang-orang yang tak lagi mampu mengendalikan diri. Hilang kontrol sama seperti zombie. Mengerikan! Mengenaskan! Jangan-jangan kota ini juga sudah terkontaminasi?
0 comments