Perjalanan itu sama linearnya dengan waktu dan kesempatan. Tak berulang walaupun selalu akan berjumpa persimpangan-persimpangan sampai nanti suatu saat bertemu ujung. Depan, sebutan kita untuk arah yang akan kita tempuh sementara belakang, begitu kita menamakan yang telah kita tinggalkan. Kadang kita mesti mengemudi, kadang duduk di kursi penumpang. Tak peduli akan ke barat atau tenggara atau ke selatan, kursi akan selalu menghadap ke satu arah: depan.
Perjalanan tak selalu mulus, kerap berlumpur atau kerikil berbatu. Kadang licin dan seringkali menyesatkan. Ada yang sempit tak rata dan ada yang lebar berlubang. Parahnya, nggak jarang semua itu bersamaan menghadang di depan. Siapa yang kita bisa percaya untuk menunjukkan arah dan menentukan langkah? Meskipun nasihat kawan sungguh kedengaran begitu meyakinkan, petuah orang asing patut dipertimbangkan, kemana kaki melangkah dan sayap mengepak sungguh dalam kendali sendiri.
Tersesat sering tak terhindarkan dan terjebak di rawa itu mungkin-mungkin saja. Kala itu terjadi, mau kabur ke mana? Tak ada jalan pintas selain pelan-pelan menyusur bayang-bayang awal atau berjejak mendorong dengan sisa semangat dan kekuatan. Ketika gelap akhirnya turun, lengkungan senyum dan semangat hendaknya tak pula turut sirna. Jalan ini masih panjang. Tak seorang tahu kapan akan tiba di tujuan selain meniti setapak ini pelan-pelan dalam redup cahaya. Kita selalu bisa berjalan bergandengan atau segera saja angkat tangan dan bersikap peduli setan, tapi siapa jamin jalan di depan rintangannya tak berbeda, kalau saja kita tidak belajar dari perjalanan. Bertemu lagi dengan persimpangan-persimpangan lainnya dan kita dipaksa belajar sekali lagi untuk ke sekian kali. Belajar dengan cara yang sukar.
0 comments