Tak adil rasanya kalau kenang-kenangan itu melulu yang indah dan manis saja. Sementara ingatan yang tajam, pedih dan pahit justru mungkin kelak akan menjadi penasihat bisu yang menemani di kemudian hari. Kalau saja rasa benar bisa disimpan dalam botol lalu, di kala rindu, kita membuka tutupnya yang berulir dan kembali menghayati setiap memori sampai degub terlirih, aroma tersamar dan rasa terdalam. Kita mencoba berbagai cara mengukir sejarah. Kita tergopoh-gopoh gandrung membingkai waktu dalam rupa dan rungu. Mungkin secara naluri kita sadar betapa terbatasnya otak dan ingatan kemudian mencoba menahan lajunya dengan cara-cara buatan.
Mereka bilang, satu rupa sanggup menyimpan beribu makna, lantas siapakah yang mampu menghitung jumlahnya dalam perjumpaan dan kebersamaan yang terlewati selama ini? Kamu, saya dan mereka melebur jadi kita. Berpayung dan berlindung dalam gua, kita menertawakan badai di luar sana. Berpegang erat di sisi-sisi tebing yang tinggi, kita memandang dari kejauhan dan membusungkan dada laksana raja dan ratu di bumi. Gelap dan terik, rimbun dan lembab, kita semua berkicau bebas seraya terbang melayang tanpa peduli semua kekang dan kandang.
Hanya saja, sejarah tak pernah berpihak. Kemudian akhirnya kita menyadari, tak cuma kita sendiri yang menorehkan kisah-kisahnya. Mendung datang dan langit tiba-tiba tak lagi terang. Kilat berpedar dan petir menyambar, badai datang tanpa terduga. Kita terbang kocar-kacir dan berpencar ke arah masing-masing. Belum lenyap keterkejutan atas langit, ternyata di tanah di bawah pun tak lagi jadi ramah. Kesepian semesta ini sungguh tidak wajar.
Langit ini masih sama berbintang remang dan bersembunyi di balik selimut kelam. Kita memandang dalam senyap hiasan angkasa yang sama dari bukit-bukit yang berbeda. Berharap usai badai muncul pelangi di malam hari. Memetik sisa-sisa pelajaran untuk memilih dan memilah yang searah sejalan di antara yang bertikungan.
0 comments