Di Minggu malam yang larut, Sang Kesepian melangkah keluar dari rumah putih. Dia melihat jalan penuh dengan mobil lalu lalang. Sesekali terdengar melintas segerombolan Keramaian yang tertawa.
Kesepian menarik napas dalam. Remang kerlip cahaya neon box berkilau naif menawarkan Kesenangan. Ah..itu palsu. Kata Kesepian dalam hati. Mereka seperti banci. Hidup dalam dua dunia. Kadang Kesenangan bermulut lihai. Mereka cuma manis di depan, tapi bayaran mereka amat mahal.
Kesepian baru keluar dari rumah putih dimana segala sesuatu hangat, namun sekaligus terasa dingin. Akrab sekaligus terasa kaku. Sang Kesepian baru merasakan kesedihan yang dalam. Dia difitnah dengan sebuah kejahatan yang tidak pernah dikerjakan dua tangannya. Pikirannya berkelebat tentang cercaan yang menusuk di balik punggungnya tentang apa yang tidak pernah diungkapkan bibirnya. Tubuhnya masih letih mendengar setiap detik yang lewat melayang. Entah itu benar, entah itu rekaan belaka. Kesepian tidak tahu. Dia tidak maha tahu. Kesepian merasa kesepian dan selalu begitu, walaupun ia baru keluar dari rumah putih. Kesepian merasa kesepian bukan karena tidak ada orang yang menyapanya, mengajaknya jalan bersama. Perhatian dan Kesempatan selalu menemuinya. Kesepian merasa kesepian karena ia yang memilih untuk begitu.
Kesepian bertemu dengan seorang pemuda di persimpangan jalan. Dia menatapnya heran. Sudah sebulan ia tidak tidur karena sibuk bekerja siang dan malam untuk melunasi uang sewa kos-kosannya. Matanya masih bengkak karena bergadang. Badannya kurus kering. Sesekali ia terbatuk. Tapi pandangannya memancarkan sinar. Dua minggu lalu sang pemuda mendapat kabar tunangannya meninggalkannya tanpa sebab, tapi sorot mata sang pemuda masih bercahaya. Kemarin dia baru saja ditampar di depan rumah biru, tapi ia masih berbinar.
Lalu kesepian mendengar sang Pemuda bersenandung pelan. Sebuah lagu yang manis yang baru saja ia dengar dari rumah putih. Sungguh manis, lebih manis hidup bersama dia. Kasihnya kepada saya sampai selama-lamanya. Pemuda itu tersenyum di sela lebam wajahnya. Gigi depannya banyak rontok.
Pemuda itu menoleh kepada Kesepian dan tersenyum. Dia menyapa kesepian dengan lembut. "Tidak mampir dulu?" ajak sang Kesepian.
"Tidak, terima kasih" balas sang pemuda. "Aku sedang buru-buru"
"Ada janji dengan siapa?" Kesepian memandang dengan kerut di kening. Pacar sang pemuda telah pergi. Kasih mungkin sudah lenyap. Semangat sudah hampir padam. Cuma sisa Letih dan Nestapa.
Sang Pemuda menyebutkan sepatah kata, lalu meneruskan perjalanannya meninggalkan Kesepian yang masih diam membisu.
Sudah lama aku tidak mendengar tentang kabar orang itu. Si tua yang menawarkan hal-hal manis. Banyak Pemuda bodoh yang mau dibujuk oleh tawa liarnya. Ada yang berjalan bersama Ketekunan dan mendapatkan apa yang mereka mau. Tapi tidak sedikit yang masuk Rumah Hitam atau memutuskan menceburkan diri dalam Kesia-siaan. Kesepian baru keluar dari rumah putih dan menatap reklame warna-warni di bawah langit malam itu. Udara dingin menerpa tengkuknya lalu ia kembali tenggelam dalam lamunan kesepian.
Terbayang lagi adegan barusan. Sang pemuda polos dengan wajah bengkak lebam namun matanya bercahaya. Pemuda itu bergeming berpikir sejenak. Menatap aspal di kakinya dan tersenyum lagi, dan menjawab satu kata
"Harapan"
Kesepian baru keluar dari rumah putih dimana segala sesuatu hangat, namun sekaligus terasa dingin. Akrab sekaligus terasa kaku. Sang Kesepian baru merasakan kesedihan yang dalam. Dia difitnah dengan sebuah kejahatan yang tidak pernah dikerjakan dua tangannya. Pikirannya berkelebat tentang cercaan yang menusuk di balik punggungnya tentang apa yang tidak pernah diungkapkan bibirnya. Tubuhnya masih letih mendengar setiap detik yang lewat melayang. Entah itu benar, entah itu rekaan belaka. Kesepian tidak tahu. Dia tidak maha tahu. Kesepian merasa kesepian dan selalu begitu, walaupun ia baru keluar dari rumah putih. Kesepian merasa kesepian bukan karena tidak ada orang yang menyapanya, mengajaknya jalan bersama. Perhatian dan Kesempatan selalu menemuinya. Kesepian merasa kesepian karena ia yang memilih untuk begitu.
Kesepian bertemu dengan seorang pemuda di persimpangan jalan. Dia menatapnya heran. Sudah sebulan ia tidak tidur karena sibuk bekerja siang dan malam untuk melunasi uang sewa kos-kosannya. Matanya masih bengkak karena bergadang. Badannya kurus kering. Sesekali ia terbatuk. Tapi pandangannya memancarkan sinar. Dua minggu lalu sang pemuda mendapat kabar tunangannya meninggalkannya tanpa sebab, tapi sorot mata sang pemuda masih bercahaya. Kemarin dia baru saja ditampar di depan rumah biru, tapi ia masih berbinar.
Lalu kesepian mendengar sang Pemuda bersenandung pelan. Sebuah lagu yang manis yang baru saja ia dengar dari rumah putih. Sungguh manis, lebih manis hidup bersama dia. Kasihnya kepada saya sampai selama-lamanya. Pemuda itu tersenyum di sela lebam wajahnya. Gigi depannya banyak rontok.
Pemuda itu menoleh kepada Kesepian dan tersenyum. Dia menyapa kesepian dengan lembut. "Tidak mampir dulu?" ajak sang Kesepian.
"Tidak, terima kasih" balas sang pemuda. "Aku sedang buru-buru"
"Ada janji dengan siapa?" Kesepian memandang dengan kerut di kening. Pacar sang pemuda telah pergi. Kasih mungkin sudah lenyap. Semangat sudah hampir padam. Cuma sisa Letih dan Nestapa.
Sang Pemuda menyebutkan sepatah kata, lalu meneruskan perjalanannya meninggalkan Kesepian yang masih diam membisu.
Sudah lama aku tidak mendengar tentang kabar orang itu. Si tua yang menawarkan hal-hal manis. Banyak Pemuda bodoh yang mau dibujuk oleh tawa liarnya. Ada yang berjalan bersama Ketekunan dan mendapatkan apa yang mereka mau. Tapi tidak sedikit yang masuk Rumah Hitam atau memutuskan menceburkan diri dalam Kesia-siaan. Kesepian baru keluar dari rumah putih dan menatap reklame warna-warni di bawah langit malam itu. Udara dingin menerpa tengkuknya lalu ia kembali tenggelam dalam lamunan kesepian.
Terbayang lagi adegan barusan. Sang pemuda polos dengan wajah bengkak lebam namun matanya bercahaya. Pemuda itu bergeming berpikir sejenak. Menatap aspal di kakinya dan tersenyum lagi, dan menjawab satu kata
"Harapan"
0 comments