Alkisah, terbitlah sebuah majalah yang digawangi sekelompok mahasiswa desain komunikasi visual yang rendah hati, mau belajar dan menantang segala resiko. Kuliah DKV - Newmedia atau Animasi itu beneran sibuk dan nyaris setiap hari bergulat dengan remah-remah waktu luang, tapi toh akhirnya mereka membuktikan majalah ini tetap sanggup terbit tepat waktu. Awal bulan ini, "Titik Dua" baru saja merilis edisi #03: Suing Designationalism. 60+ halaman yang penuh inspirasi dengan apik disiapkan, disajikan untuk dikonsumsi mahasiswa (dan seluruh pelaku lainnya yang haus asupan konten desain).
Nampaknya di edisi ini, eksplorasi layout dan konten Titik Dua melejit luar biasa. Kalau di edisi sebelumnya beberapa konten agak ribet dibaca, Suing Designationalism jauh lebih festive, dan berani, namun tetap menjaga legibility dan kualitas artikelnya. Saya salut, mereka bisa hunting konten dari kontributor-kontributor empu kancah desain dan menyajikannya dengan smooth ala mahasiswa (yang rata-rata males baca buku kuliah. Hehehe). Saya juga heran, ngapain bahas nasionalisme di bulan September-Oktober, bukannya segala sesuatu yang berbau endonesa itu lebih sering berkoar di bulan Agustus? Entah ngeles, entah serius, tapi pernyataan ini sungguh menggugat kembali rasa nasionalisme: "... masih lebih basi pikiran yang menyimpan pola bahwa nasionalisme hanya patut (di)perbincangkan di bulan Agustus". Nasionalisme lebih dari sekedar Agustusan, merah-putih, batik dan wayang. Ideologi itu nggak sebatas 'menempelkan' elemen parang rusak atau mega mendung sekedarnya supaya desain atau animasi kemudian serta merta berubah jadi 'lokal konten'. Gali dan eksplorasi lebih dalam dan kita bisa saksikan bahwa elemen yang Indonesia banget itu mungkin nggak jauh-jauh dari lingkungan kita saat ini dan sekarang ini.
Penggarapan dan pemilihan kata 'menggugat' dalam cover edisi ini juga sangat menggelitik. Jadi, ceritanya beberapa waktu lalu Top News di Facebook kerap memperbincangkan mengenai majalah Titik Dua yang 'masih' mempertahankan bentuk edisi cetak. "Selamat datang di Digital Publishing" begitu ejek satu redaktur e-magazine meremehkan Titik Dua. Saya anak animasi dan sudah pasti produknya berupa reproduksi film digital, tapi bentuk memojokkan media cetak untuk mendongkrak media digital rasanya terlalu congkak dan picik untuk dilakukan oleh siapa pun. Walaupun memang saat ini Titik Dua akhirnya sudah merambah ke versi digital untuk iOS dan Android. Edisi #03 dari Titik Dua berhasil membuktikan bahwa ada ranah yang hanya bisa dicapai dalam bentuk cetak, misalnya melalui penggarapan covernya. Setiap cover majalah Titik Dua #03 benar-benar digarap manual! Ini yang bikin saya berdecak makin kagum. Siapa sih anak DKV yang nggak kangen sama tekstur khas, bleber-bleber nggak rata dan personal feeling dari goresan cat poster? :)
Jadi, yang belum dapat majalah Titik Dua, silakan pesan disini, kawan!
0 comments