Apa yang dapat memisahkanku
Dari kasihMu Tuhan, Sahabatku?
Kelaparankah? ketelanjangankah?
Tak satupun, tak satupun
Apa yang dapat memisahkanku
Dari kasihMu Tuhan, Sahabatku?
Aniayakah? penderitaankah?
Tak satupun, tak satupun
Satu malam aku bermimpi berjalan menyusuri pantai, berdua bersama Tuhanku.
Aku lihat di cakrawala berkelebat kilasan-kilasan hidupku.
Di tiap babaknya aku lihat dua pasang jejak kaki di pasir.
Sepasang jejakku dan sepasang lagi jejak Tuhanku
Kilasan terus berganti, sampai aku sadari bahwa hanya ada sepasang jejak.
Justru ketika hidup rasanya berat dan sesak.
"Tuhan, Tuhan," Aku bertanya dalam kebingungan.
"Ketika aku bertekad mengikut Engkau, JanjiMu Engkau selalu menyertai;
Tetapi mengapa yang kusaksikan hanya ada sepasang jejak justru di saat-saat yang sulit dan sukar?
Tuhan, aku tidak mengerti, mengapa di saat aku paling membutuhkanMu,
Engkau meninggalkanku?"
"AnakKu yang kusayangi", jawabNya
Aku sungguh-sungguh mengasihiMu dan tak pernah sekalipun meninggalkanmu.
Dalam pencobaan, dalam bahaya, dalam sengsara dan air mata,
Sewaktu kau melihat hanya ada sepasang jejak,
Itulah saat-saat Aku menggendongmu"
Sendirian aku terharu dalam diam. Aku tercengang memaknai kembali kesamaan isi puisi dan lirik lagu yang terinspirasi dari sebaris kalimat surat Paulus kepada jemaat di Roma (8:35). Ketika memulai tahun yang baru, menghadapi perubahan-perubahan yang tidak dimengerti, atau sewaktu kesulitan silih berganti melanda, mudah rasanya untuk meragukan bahkan menuduh Allah abai menyertai. Refrein lagu "Tak Satu Pun", seperti halnya bagian akhir puisi "Jejak-Jejak Kaki" sekali lagi mengingatkanku pada sore itu bahwa tak ada satu pun yang mampu memisahkan kita dari kasih Kristus.
Tiada satupun s'perti Kau Yesus
Kau Sahabat yang sejati
Dalam bahaya Kau menggendongku
Engkau Yesus, Sahabatku
0 comments