Di luar jendela, pohon menari-nari dan kecipak air di bawah lampu sorot kendaraan. Menulis tak lagi mengasyikkan jika yang tampil hanya kedok dan plastik sampul. Menarik dan cantik seperti kertas kado, tapi hanya bungkus. Aku kangen mengungkapkan apa adanya tanpa takut dihakimi atau dicela atau diperdebatkan.
Aku enggan terlibat dalam pertunjukkanmu, namun aku sesak tersedak dalam pikiran-pikiran dan ribuan kata. Aku tak perlu memicingkan mata dari sudut pandangan atau sengaja menajamkan telinga, berita menyergap dari seluruh belantara. Yang kau simpan, terendus tapi tak kuhiraukan. Yang kutahu, tak perlu kau sembunyi-sembunyikan. Sebab diam tak berarti tak mengerti.
Tapi aku enggan berasumsi. Menolak berprasangka, aku menggandeng senja buta. Meledak dalam kerongkongan, kalimat-kalimat terpendam meluber seperti banjir. Jebol dalam tengkuk, mata beradu mencuri pandang dari punggung.
Diam kita bermakna tanya. Rindu silam masa terkenang wajar. Tawaku dan canda kita dalam subuh menusuk. Yang kau simpan, tak perlu kutahu. Hanya saja, setelah jarak kita terlalu merah.
Dari semua yang kutahu tentangmu, yang tak kutahu justru lebih menggangguku.
Dari semua yang kutahu tentangmu, yang tak kutahu justru lebih menggangguku.
Aku ingin kita biasa saja. Seperti hujan di awal September, yang mampir sebentar kemudian pergi lagi menyisakan genangan dan lembap sendu.
0 comments