Aku gelagapan dan meronta liar. Tanganku menjangkau ranting terdekat, namun batang itu tercabut patah seketika. Akar-akarnya keluar dan daun-daunnya rontok. Tidak ada seorang pun kudapati di sekitar. Percuma saja berteriak karena aku yakin suara ini akan serak tanpa ada yang bakal mendengar. Aku terjerumus dalam lumpur hidup di rawa hisap di pagi yang cerah.
Kupikir padang gurun adalah satu-satunya jebakan dalam perjalanan. Hamparan gersang kering kerontang yang membakar dari segala arah. Siapa yang pernah sesekali berkelana tak berarah tentu akrab dengan pemandangan tanpa tujuan. Ketika segala sesuatu berulang, monoton, dan menjemukan. Atau ketika waktu itu, badai mendung membubarkan parade kita. Petir tak diduga menyambar dan menghamburkan. Semua orang mencari perlindungan. Kita kocar-kacir berpisah menyelamatkan ego dari hujan rasa malu dan sambaran kebaikan. Namun, hidup seperti biasa tak pernah kehilangan cara. Di saat kau telah mendapat apa yang kau inginkan, kau justru kehilangan yang kau butuhkan. Tak pernah terpikir, lepas dari siksaan panas yang menggosongkan punggung dan kilauan kilat yang meremukkan tulang untuk mendapati aku terperosok semakin dalam setiap hari.
Sementara pelangi merekah di ujung sana. Kicauan burung bermain sepanjang hari tanpa beban - atau berpura-pura tak ada tanggungan, aku tak pernah tahu, aku tak mau tahu. Langit menunjukkan tanda-tanda badai telah lewat. Yang hancur tak berbentuk sudah lewat. Keonaran meninggalkan luka, namun sudah diangkat sepenuhnya. Tapi aku, aku habiskan waktu mengamati tanda-tanda hadirmu. Menyaksikanmu di genggamanku setiap pagi, setiap siang, setiap malam dan bertanya-tanya tentang keadaanmu. Cangkang dan sangkarku sudah kuhancurkan. Gemboknya kugiling sekaligus bersama rantainya, namun aku ternyata tak pernah bebas dari penjara yang dan kubikal yang mengurung jiwa.
Lumpur ini bukan lumpur mati tetapi dia mampu menyerap ketakutan dan sisa-sisa kehidupan kemudian mengolahnya menjadi kematian. Setiap gerakan hanya membuatmu semakin terbenam dalam diri sendiri. Luka gosong itu tak pernah benar-benar pulih. Tulang masih terbuka, belum tertutup daging, namun pikiran ini penuh dengan keputusasaan, kehilangan, kenangan, kekecewaan, kekuatiran, kehilangan, rasa tak berharga, rasa tak aman, keterpisahan, kehilangan, masa lalu, keterikatan, ketergantungan, kehilangan, ketidakberdayaan, kesedihan, keseriusan, dan jebakan perasaan-pikiran negatif tak beralasan lainnya. Tidak ada seorang pun yang bersalah dan patut disalahkan. Penyakit ini tak pernah berpatogen, melainkan racun yang bersumber dalam diri sendiri. Akulah penyakitku. Akulah parasitku. Aku yang memilih lumpur ini berdasarkan asumsi-asumsi dan hipotesa kompleksku. Tak ada obat yang dijual mampu memulihkan penat yang kubuat-buat dan tak ada penawar bagi kerusakan yang kutakar sendiri.
Atau setidaknya, itulah yang kupahami dalam pikiran lelah dan keadaan fatal ini. Aku meronta karena aku tenggelam dalam posisi yang sulit untuk kembali. Masih adakah harapan atau sanggupkah Tuhan muncul dari mesin? Mari kita menyibukkan diri dalam rutinitas dan kesibukan sejak siang sampai malam sementara menumpulkan rasa sambil bersorak dan menyembah dalam luka. Semoga ada kesembuhan, baik dalam bilur maupun lewat waktu yang terulur. Selagi demikian, aku ingin berdiam berdua saja, itu sudah lebih dari cukup. Atau bertiga jika ada waktu. Atau berempat jika itu pun tak terlalu banyak meminta.
0 comments